• Memeriksa...
  • Bagaimana Mempertahankan Gen-Z di Tempat Kerja

        Bagaimana Mempertahankan Gen-Z di Tempat Kerja

        Gen Z memiliki reputasi buruk sebagai job hopper alias tidak bertahan lama di suatu perusahaan. Lantas seperti apa, sih, tempat kerja yang mereka cari? Dari Sensus Penduduk 2020, jumlah generasi Z yang ada di Indonesia berkisar 27,94% dari total 270 juta jiwa penduduk Indonesia. Generasi Z awal saat ini mulai memasuki dunia pasar kerja. Bagi perusahaan, masuknya gen Z dalam pasar kerja menjadi tantangan tersendiri. Deloitte mencatat ada beberapa faktor yang mempengaruhi pandangan dunia Gen Z. Pertama, dampak dari resesi ekonomi 2008 dan pemulihan ekonomi yang lambat. Kedua, naiknya ketimpangan pendapatan. Ketiga, peningkatan anggaran kebutuhan dasar, seperti rumah, transportasi, makanan, dan kesehatan. Terakhir, semakin besarnya biaya pendidikan. Hal-hal tersebut membentuk pandangan dan perilaku Gen Z. Salah satu perilaku Gen Z yang dikenal dalam perusahaan, yaitu praktik kutu loncat atau job hopping. Hal ini berarti jangka waktu Gen Z bertahan relatif singkat. Waktu lama bekerja Gen Z berkisar 2 tahun 3 bulan, 6 bulan lebih singkat dari Generasi Millennial. Dari sisi perusahaan, survei dari Indeed menyebutkan 76% pengusaha memilih tidak melanjutkan ke tahap wawancara untuk pelamar yang memiliki riwayat durasi pekerjaan yang pendek. Khusus perusahaan besar dengan 50-249 karyawan, 46% dari mereka menyatakan tidak mewawancarai pelamar yang mereka anggap sebagai kutu loncat. Selain itu, 36% menyatakan praktik job hopping berdampak buruk pada bisnis dengan 90% memilih alasan karena adanya investasi untuk pelatihan karyawan. Tetapi, 13% juga berpendapat job hopping membawa dampak positif karena mereka membawa ide dan perspektif baru. Temuan ini pada akhirnya menyimpulkan bahwa para rekruter relatif lebih menyukai kandidat yang memiliki riwayat pekerjaan dengan durasi yang lebih lama. Lalu, bagaimana agar gen Z bisa bertahan di perusahaan dalam waktu yang lama? Berikut tips yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk membuat Gen Z betah di perusahaan dalam waktu yang lama.

        1. Keamanan dan stabilitas kerja, serta kepedulian pada kesehatan mental Gen Z bekerja lahir di masa krisis finansial 1998 dan tumbuh dan besar setelah krisis ekonomi 2008, dan terakhir memasuki pasar kerja pada masa pandemi COVID-19. Pengalaman tersebut justru membuat gen Z menganggap keamanan dan stabilitas kerja seperti jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan kepastian kerja semakin penting. Dengan pengalaman tersebut juga, Gen Z adalah generasi yang paling banyak menderita kesehatan mental, gangguan kecemasan, dan depresi. Untuk itu, perusahaan dituntut agar dapat mengakomodasi tidak hanya kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental dalam kebijakan perusahaan.

        2. Budaya perusahaan yang positif yang mendukung keragaman dan kesetaraan Dari Deloitte Millennial Survey 2018, sekitar 57% dari Gen Z di berbagai negara menganggap budaya kerja yang positif adalah hal yang penting dalam pekerjaan. Bagi Gen Z, tempat kerja harus terbuka pada keragaman dan inklusif, dari mulai suku, ras, agama, gender, hingga usia. Selain itu, Gen Z tidak menyukai senioritas yang hanya memandang lama bekerja, bukan kemampuan dan pengalaman.

        3. Mentorship yang dari generasi tua yang responsif Walaupun Gen Z tidak menyukai senioritas, bukan berarti ia tidak membutuhkan bimbingan generasi sebelumnya. Nyatanya, mereka juga membutuhkan bimbingan dari senior yang peduli pada kinerja, bahkan juga dengan kehidupan pribadinya. Survei dari the Center for Generational Kinetics 2018 menyebutkan lebih dari 65% dari Gen Z menyatakan kebutuhan akan umpan balik berkala (setidaknya satu kali dalam seminggu).

        4. Pengembangan karier dan pelatihan berkala yang efektif Dilansir dari Forbes, kontributor Forbes Mark Perna menyatakan memberikan pengembangan karier adalah cara mengambil hati para pekerja Gen Z. Laporan dari Workplace Learning Report 2021 milik LinkedIn menyatakan Gen Z sangat bermotivasi untuk mengembangkan kariernya, dengan 76% menyatakan belajar adalah kunci pengembangan diri mereka. “Jika mereka merasa tidak diinvestasikan (dalam hal pengembangan karier), mereka akan keluar (dari pekerjaan),” ucap Amy Borsetti, Direktur Senior dari LinkedIn learning. Oleh karena itu, pengembangan karier dan pelatihan menjadi salah satu kunci untuk mempertahankan pekerja Generasi Z.

        • Suka
        • Bagikan
          • Lapor
        • Memuat artikel lainnya...