• Memeriksa...
  • Cancel Culture: Bisakah Diterapkan di Indonesia?

        Cancel Culture: Bisakah Diterapkan di Indonesia?

        Kamu mungkin tahu cancel culture yang berlaku di Korea Selatan. Begitu bermasalah, kariernya akan hancur. Lah kalau di Indonesia? Makin bermasalah malah makin jadi selebtainment alias selebritas yang mondar-mandir infotainment. Kita semua pasti udah tau gimana jadinya orang yang kena

        cancel culture di Korea: diberhentikan dari ongoing series, dibatalin kontrak iklan, TV, atau jadi Brand Ambassador produk tertentu, diasingkan teman-teman, bahkan sampai tidak diakui jadi keluarga. Pokoknya hancur banget deh! Tapi beda sama di Indonesia. Orang yang kena

        cancel malah diundang ke acara-acara TV, talkshow, hadir di morning show, bahkan sampai dijadikan brand ambassador atau pembicara mengenai kasus yang dihadapi. Gila kan! Sebenernya

        cancel culture tuh apa sih? Terus, itu sebenernya baik apa buruk sih dan apakah kita mesti ikut-ikutan karena cancel culture jadi bagian dari tren masyarakat yang lagi banyak diikutin sekarang ini. These are the things you have to know about cancel culture! Jadi sebenernya, menurut kamus online Merriam Webster,

        cancel culture adalah kegiatan atau praktek mass shaming atau mass cancelling sebagai salah satu sikap bahwa kita menentang atau tidak menyetujui sesuatu, dan memberikan tekanan sosial pada pelakunya atau kasusnya. Cancel culture umumnya digunakan untuk menghilangkan pengaruh seseorang karena perilaku, perkataan atau tindakan yang tidak sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku. Sebenernya kita sudah sering mendengar istilah ini, namun istilah yang dulu dipakai adalah boikot dimana kita melarang publik figur atau orang yang diboikot tampil di hadapan masyarakat. Meskipun mungkin terlihat harmless, tapi sebenarnya budaya cancel ini bisa jadi budaya yang toksik dan membawa pengaruh buruk kepada masyarakat, lho. Budaya ini dapat dengan mudah berkembang menjadi budaya main hakim sendiri di masyarakat, terutama media sosial, yang dapat berlanjut menjadi budaya

        bullying. Bullying yang dilakukan di media sosial saat mengcancel seseorang biasanya diikuti dengan ujaran kebencian yang dapat membuat mental seseorang menjadi down, merasa tidak berguna, dan bahkan dapat memunculkan keinginan untuk bunuh diri. Kalo kamu pernah denger

        calling out culture, mungkin cancel culture ini merupakan perpanjangan dari culture tersebut: ketika kamu sudah menunjuk orang atau figur tertentu, kemudian kamu beramai-ramai memboikot orang tersebut bersama sekumpulan orang lain yang sepakat bahwa apa yang dilakukan sudah tidak sejalan dengan norma masyarakat. Sebenernya

        cancel culture itu sendiri pun masih menjadi perdebatan, tentang apa yang terjadi setelah cancel culture and how it affects powerful people. Karena beneran deh, kita udah sering banget melihat berbagai macam artis, publik figur, atau bahkan politisi yang diboikot atau kena cancel culture, tapi setelah ada kasus cancel lainnya atau setelah tenggat waktu tertentu, orang-orang pada lupa, tuh.

        While it can be toxic if it’s done too much, cancel culture sebenernya memberi a sense of power buat orang-orang yang nggak punya power sebanyak itu, mungkin lain kali kita juga harus jujur kepada diri kita sendiri ketika kita mau meng-cancel orang lain: whether it can give us a short-term release or it’s just cathartic anger, that we want to feed.

        • Suka
        • Bagikan
          • Lapor
        • Memuat artikel lainnya...