• Memeriksa...
  • Habis Patriarki, Terbitlah Emansipasi: Mengakui dan Memanfaatkan Privilese Bersama Kartini

        Habis Patriarki, Terbitlah Emansipasi: Mengakui dan Memanfaatkan Privilese Bersama Kartini

        Sebuah sudut pandang laki-laki mengenai emansipasi. Tumbuh dan dibesarkan dalam budaya patriarki, seorang laki-laki seringkali mendapatkan perlakuan yang berbeda dibanding seorang perempuan. Perlakuan berbeda ini menempatkan kami sebagai yang lebih tinggi, utama, dan superior. Kondisi yang sudah membudaya ini bisa bertahan lama karena ikut didukung dan dipertahankan oleh banyak orang, terutama laki-laki itu sendiri. Akibatnya, budaya ini dianggap sesuatu yang alamiah. Padahal, kita tahu kan, budaya diproduksi secara bersama dan bukan turun dari langit begitu saja. Sebagai laki-laki, ada banyak keistimewaan yang didapat dimulai bahkan sejak dilahirkan. Bayi lelaki tidak harus menjalani sunat kelamin demi ‘membatasi keinginan seksual’ yang justru secara kesehatan tidak diperlukan. Lain bagi laki-laki, sunat semata-mata memang kebutuhan medis tanpa embel-embel lain. Seiring berjalannya waktu, keistimewaan laki-laki tumbuh semakin jelas berdiri di atas sokongan pihak perempuan yang dirugikan. Pengamatan pertama muncul di rumah ketika saudara perempuan dan ibu diharuskan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan di tengah kesibukan bekerja di luar. Beban itu tak kami rasakan karena laki-laki katanya tak perlu mengurusi pekerjaan domestik, kecuali pekerjaan-pekerjaan berat. Anehnya, ketika pihak perempuan yang mengerjakan tugas rumah, maka itu sudah kewajiban dan lumrah. Namun, saat laki-laki melakukannya, orang-orang memberi pujian. Pernah dengar ungkapan, “Di balik lelaki sukses, ada perempuan hebat di belakangnya”? Nah, pernyataan ini paling tidak mengungkapkan laki-laki tampil di depan sosok yang berhasil. Sementara itu, perempuan di belakangnya tak terlihat. Sebagaimanapun usaha untuk mengakui kerja perempuan, ia masih ditempatkan sebagai subjek sampingan. Perannya hanya figuran bagi sang aktor utama. Realita itu terjadi dalam semua aspek kehidupan lainnya seperti pendidikan, pekerjaan, hingga politik. Ia terjadi sudah sejak lama, seperti terukir dalam potongan lirik lagu populer Sabda Alam: “Wanita dijajah pria sejak dulu”. Indonesia punya rekaman sejarah seabad lalu, saat seorang perempuan priyayi Jawa menggugat ketertindasan perempuan pada masa itu. Lahir dari keluarga priyayi, Kartini tumbuh dengan kenyamanan dan kemakmuran dibanding anak pribumi seusianya. Ia mendapat kesempatan menempuh pendidikan khusus bangsa Eropa di ELS (Europesche Lagere School). Akhirnya Kartini bisa mengerti bahasa Belanda, dan memiliki ketersediaan bacaan yang cukup. Dengan itu, sosok Kartini sebagai pejuang emansipasi perempuan bisa dikenal karena tak hanya kegigihan, tapi ia mampu memanfaatkan privilesenya. Perjalanan mengenal privilese, mengakui, hingga dapat menggugat dan memanfaatkannya bukannya mudah. Beberapa bahkan harus menjalani kesusahan di pihak yang under privilege terlebih dahulu sebelum menyadarinya. Perjalanan mempelajari privilese pribadi memang seperti lari marathon, dan tiap orang punya jalurnya sendiri. Seiring waktu, seseorang bisa sadar dan paham pada akhirnya beragam privilese berbasis gender sebagai laki-laki. Pertama-tama, setelah menyadari, kita mesti meminta maaf kepada mereka yang selama ini didiskriminasi secara gender. Sebab, kesuksesan lelaki seringkali berdiri atas ketertindasan perempuan. Di Indonesia, laki-laki dengan privilese paling besar mungkin mirip seperti laki-laki kulit putih Kristen Amerika Serikat, yaitu: lelaki Jawa-Islam. Jika dimensi privilese tidak disadari, dampak buruk dari sistem yang menindas seperti patriarki akan semakin mapan dan berbahaya. Misalnya, jika individu yang terpinggirkan mengalami kegagalan karena hambatan struktural yang diskriminatif, maka kesalahan itu ditimpakan semata pada individu yang dianggap kurang berusaha dan malas. Lelaki Indonesia bisa belajar dari Kartini tentang bagaimana mengakui, menggugat, dan memanfaatkan privilese yang ada sejak lahir. Saatnya menjadi ‘laki-laki baru’ yang mendukung keadilan gender, seperti Kartini yang perjuangannya terus berlanjut hingga kini. Walau tak sedikit perdebatan tentang Kartini, tetapi misinya adalah estafet zaman: agar habis gelap terbitlah terang; habis patriarki, terbitlah emansipasi.

        • Suka
        • Bagikan
          • Lapor
        • Memuat artikel lainnya...