• Memeriksa...
  • Hentikan Eufemisme Pemberitaan Kekerasan Seksual di Media

        Hentikan Eufemisme Pemberitaan Kekerasan Seksual di Media

        Mengapa media menggunakan kata “menggagahi” atau “menyetubuhi” untuk pemberitaan kekerasan seksual? Tidak perlu dipertanyakan lagi mengapa kasus kekerasan dan pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan fenomena gunung es. Ibarat puncak gunung es, kasus kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi lebih tinggi dan lebih banyak dibanding kasus yang terlaporkan. Sepanjang tahun 2021 hingga awal tahun 2022 ini, media dipenuhi oleh berita mengenai kasus dugaan kekerasan seksual. Kasus-kasus itu marak terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Pelakunya pun beragam, mulai dari orang asing, orang terdekat, tokoh yang dihormati, hingga oknum pemegang jabatan. Korbannya sudah tak terhitung, mulai dari anak di bawah umur, santri, mahasiswa, pegawai di lembaga negara, istri tahanan sampai difabel. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan setidaknya terdapat 8.800 kasus kekerasan seksual terjadi dari Januari hingga November 2021. Hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa kekerasan seksual merupakan isu penting dan perlu segera ditangani, khususnya di Indonesia. Media berperan penting dalam mengurangi masalah kekerasan seksual di Indonesia. Namun nyatanya, media saat ini malah menjadi bagian dari masalah. Media seharusnya dapat membantu, bukan memperburuk situasi dengan menyajikan berita menggunakan bahasa yang seksis dan menghakimi, menggambarkan korban sebagai orang yang ternodai atau kehilangan kehormatannya, serta menukar kata menjadi lebih halus bagi pemerkosa atau yang disebut eufemisme.

        Eufemisme dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual Seringkali ditemukan penukaran kata “diperkosa” menjadi “digagahi”. Gagah memiliki arti kuat dan bertenaga. Apakah perbuatan itu membuat pelaku layak disebut gagah? Siapa yang menganggap pelaku akan menjadi gagah setelah melakukan pemerkosaan terhadap korban? Apakah ada anggapan bahwa pemerkosaan adalah perbuatan yang akan menyulap pelaku menjadi gagah perkasa? Tentu tidak. Tidak gagah sedikit pun. Tak hanya itu, ada pula kata “disetubuhi”. Kata disetubuhi berakar dari setubuh. Arti setubuh di antaranya, adalah cocok. Dari kata ini pun sudah jelas bahwa diperkosa tidak layak ditukar dengan disetubuhi. Tentu tidak akan ada korban yang merasa cocok berhubungan badan dengan pelaku, baik pelaku itu adalah orang terdekat atau pun orang asing. Lalu apa urgensinya menukar kata diperkosa menjadi digagahi atau disetubuhi? Apalagi berita tersebut disebarkan kepada khalayak seakan-akan bukan masalah. Selain penukaran kata menjadi lebih halus, pemberitaan tentang pemerkosaan harus jelas dan mudah dipahami. Sebisa mungkin gunakanlah kata dengan makna denotatif dan hindari makna konotatif. Singkatnya, alih-alih menggunakan makna kiasan, gunakan saja kata-kata yang populer dan ramah di telinga masyarakat. Akhir-akhir ini ditemukan pula diksi “rudapaksa”. Kata rudapaksa diambil dari bahasa Jawa yang berarti paksa atau perkosa. Kata tersebut memang sudah tercantum dalam KBBI, namun belum tentu ramah di telinga masyarakat khususnya yang berada di luar suku Jawa. Mengapa tidak menggunakan frasa korban perkosaan saja? Bukankah itu lebih terang, jelas, dan tegas?

        Peran media dalam isu kekerasan seksual Eufemisme yang dilakukan agar kejadian kekerasan seksual itu tersamarkan dengan dalih kesopanan seringkali justru mengaburkan konteks peristiwa pemerkosaan. Pemerkosa diuntungkan, korban pemerkosaan dibuntungkan. Kata disetubuhi, digagahi, dan dirudapaksa memang memiliki relasi makna dengan diperkosa, tetapi bersifat diskriminatif terhadap korban. Oleh karena itu, pemberitaan tentang peristiwa pemerkosaan seharusnya tidak menerapkan eufemisme, apa pun alasan dan tujuannya. Gunakan diksi yang tepat dan sesuai serta pertimbangkan kondisi psikologis korban. Jangan sampai menggambarkan korban pemerkosaan sebagai sosok yang lemah dan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, karena hal tersebut hanya akan membuat para penyintas semakin enggan melaporkan serangan seksual yang mereka hadapi dan membuat pelaku bebas.

        • Suka
        • Bagikan
          • Lapor
        • Memuat artikel lainnya...