• Memeriksa...
  • Memanfaatkan Perbedaan untuk Mencapai Tujuan Bersama

        Memanfaatkan Perbedaan untuk Mencapai Tujuan Bersama

        Apakah perbedaan harus kita hindari dan lebih baik jika semuanya seragam?

        When we talk about unity, it’s not always about a group of people that have the same way of thinking or even have the same personality altogether. Menurut Roxanne Lalonde (1974) dalam thesisnya “University in Diversity: Acceptance and Integration in an Era of Intolerance and Fragmentation”, unity in diversity itu justru merupakan sebuah konsep kesatuan tanpa keseragaman, dan keragaman tanpa fragmentasi. Sebenarnya semua perbedaan itu bisa dijadikan keuntungan buat mencapai tujuan bersama, tapi sering kali kita nggak sadar akan hal itu karena terlalu fokus buat nyari persamaan atau ngebuat semua orang jadi seragam. Then why are we still want everyone to be the same in order to reach unity?

        Understanding differentiation

        Each of us have our own differentiation that is visible to see, like our skin color, the shape of our body and even the shape of our hair is different one another. Beberapa orang punya pola pikir yang berbeda-beda satu sama lain dan hal itu bukanlah hal yang salah. Kita juga punya cara penyelesaian masalah sendiri-sendiri yang mungkin berbeda dengan orang lain dan kita nggak harus membuat orang lain punya cara penyelesaian masalah yang sama dengan kita. Every differences you have make you special among others meskipun kita lagi ada di dalam satu tempat yang sama. Perbedaan jadi masalah waktu salah satu pihak nyoba buat maksa pihak lain untuk jadi ‘sama’ dengan mereka. Padahal menurut Jorge Waxemberg, penulis

        Living Consciously, wajar banget kalo kita punya pemikiran dan cara yang berbeda karena masing-masing dari kita punya peranan yang berbeda di dalam masyarakat. Emang sih, bersikap dan punya pemikiran yang sama kayak orang-orang di sekeliling kita itu kelihatan lebih ‘normal’ dan lebih ‘umum’, but in the end, all we really means is we are able to adjust our moral compass in order to fit in. Sering banget kita tenggelam di antara pendapat dan pemikiran orang lain—dan takut untuk punya pendapat yang beda—dan pada akhirnya kita cuma bisa ‘iya iya’ aja karena nggak pengen dianggep aneh. Dalam artikel yang diterbitkan bulan Februari lalu dalam jurnal

        Trends in Cognitive Sciences, Avram Holmes dari Yale bilang kalau setiap manusia punya bermacam-macam sifat yang berbeda—bisa positif ataupun negatif—yang terjadi karena banyak banget faktor. Pemikiran yang populer atau cara bersikap yang umum itu sebenernya nggak terlalu penting atau benar, atau lebih baik daripada pemikiran yang lain cuma karena pada waktu itu “semua orang ngelakuin itu” atau “semua orang bilang hal itu”. Pada saat yang bersamaan, nggak semua hal yang beda dari norma yang umum berlaku, adalah indikasi dari sebuah ‘disorder’. We are all allowed to have our own thoughts that is different from anybody else and it’s perfectly fine.

        Why we can—and allowed to—be different? Saat ini kita hidup di dunia yang

        diverse banget dan kita bisa dengan mudah berinteraksi dengan orang dari kebudayaan dan lingkungan yang berbeda. Sayangnya, interaksi yang super gampang ini juga bikin tingkat kesalahpahaman semakin tinggi karena kemampuan kita untuk mempersepsikan pesan yang kita terima dari orang lain itu berbeda. Menurut pakar komunikasi Wilbur Schramm, salah satu penyebab kenapa kita berbeda dengan orang lain adalah karena kita punya

        frame of reference dan field of experience yang berbeda. Frame of reference adalah referensi pengetahuan tentang latar belakang seseorang yang bisa ngebantu kita buat berkomunikasi. Hal-hal kayak kepercayaan, agama, value termasuk ke dalam frame of reference. Sementara itu, field of experience adalah pengalaman yang didapat oleh seseorang selama dia berinteraksi dengan orang tersebut. Semakin sering kita berinteraksi dengan orang lain dari berbagai macam latar belakang, kita semakin sadar dengan berbagai pemikiran dan kepribadian yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Selain

        frame of reference dan field of experience, lingkungan juga bisa mempengaruhi latar belakang pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Semakin beragam lingkungan tempat kita tinggal, kita bisa belajar untuk semakin menghargai perbedaan yang ada dan pemikiran kita terbuka untuk hal lain diluar pengetahuan yang kita miliki. Perbedaan bisa jadi masalah waktu kita sama sekali nggak belajar buat ngehormatin pendapat dan pemikiran orang lain, apalagi kalau kita ngerasa pemikiran kita adalah yang paling benar dan paling

        matters kalau dibandingkan sama orang lain. Kadang kita susah buat nerima pendapat atau fakta kalau orang lain punya pemikiran yang berbeda karena kita berpikir sesuai dengan konteks kita sendiri tanpa mempertimbangkan sisi dari orang yang berbeda tersebut. Sometimes we are so persistent about our thoughts and opinion because we justified them based on our conclusion and opinion that is logical and makes the perfect sense for us. Waktu kita ngelakuin hal itu, berarti kita tidak mengindahkan kalau nggak semua orang berpikiran hal yang sama kayak kita. Waktu orang lain nggak punya pandangan yang sama dengan kita, kita cenderung menganggap kalau opini dan pendapat mereka nggak logis dan nggak punya dasar. Padahal sebenarnya keduanya logis dan punya argumentasi yang tepat.

        Walking towards the same goal Meskipun kita datang dari latar belakang yang berbeda, hal itu nggak akan menghalangi kita buat tetap punya tujuan yang sama.

        Let’s think about diversity as the different skills and knowledge and unity as the goals. Lebih baik punya sekelompok orang dengan kemampuan dan latar belakang yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Banyak banget hal yang kita bisa pelajari dari orang-orang dengan latar belakang yang beda sama kita. From all of these new connections and ideas, you’ll be able to form something, create something different, when you exposed yourself to information that you’re not familiar with. Ide baru bisa datang dari mana saja, dan biasanya muncul karena kita ngegabungin banyak hal berbeda.

        Being different isn’t something we have to avoid; it’s something we have to embrace. Kita nggak harus kok nyamain pendapat dan pemikiran kita dengan sesuatu yang lagi ngetren atau populer. Think about it to get a new perspective. Dapet banyak perspektif yang berbeda bikin kita bisa memandang suatu masalah dari sisi yang berbeda dan bahkan bisa bikin kita menyelesaikan masalah dengan lebih cepat. Menurut Robert Evans Wilson Jr., penulis buku The Main Ingredient, berbagi opini atau sharing mengaktifkan bagian reward system di otak yang menghasilkan dopamin dan bikin diri kita sendiri ngerasa lebih baik. Selain itu, dengan mengetahui atau berinteraksi dengan orang dari latar belakang yang berbeda bikin kita tahu lebih banyak tentang mereka dan mungkin kita bisa nemuin kalau mereka sebenarnya jalan ke tujuan yang sama dengan kita, hanya saja dengan cara yang berbeda.

        • Suka
        • Bagikan
          • Lapor
        • Memuat artikel lainnya...