• Memeriksa...
  • Serba-Serbi Maskulinitas Toksik di Indonesia

        Serba-Serbi Maskulinitas Toksik di Indonesia

        Istilah toxic masculinity atau maskulinitas toksik muncul untuk menggambarkan bagaimana sikap maskulinitas membuat kaum laki-laki diasosiasikan sebagai sosok yang perilaku kuat, dominan, dan rasional namun di sisi lain dianggap memenjarakan emosional mereka untuk bisa berperilaku sesuai keinginan. Kita hidup di masa stereotipe gender berkembang dan menjamur secara masif. Dengan adanya stereotipe ini, masyarakat sering kali menetapkan perilaku dan aturan dalam kehidupan dengan melakukan pengkategorian berdasarkan gender. Kategori ini lantas berkembang menjadi landasan untuk memberikan gambaran ideal bagaimana seorang laki-laki dan perempuan seharusnya bertindak. Kita ambil maskulinitas dalam dunia kerja sebagai contoh. Saat ini masih banyak yang mengamini norma-norma sosial kolot, bahwa laki-laki adalah pihak dominan yang harus selalu menjadi superior ketimbang perempuan. Norma ini hadir sejak ratusan tahun silam tapi tetap tumbuh subur sampai sekarang. Masyarakat kerap mereproduksi isu ini dengan menekan para anak laki-lakinya untuk menjadi sukses di ranah publik dan lebih berpendidikan ketimbang para anak perempuan. Tak hanya sampai di situ, maskulinitas pun bisa merembet ke dalam hubungan berpasangan. Ketika dipertemukan dengan perempuan atau pasangan yang lebih sukses, cerdas, dan mandiri, mereka merasa kecil dan terancam kedudukannya. Hal ini akan mengantarkan pada masalah lain, seperti terjadinya perselingkuhan karena usaha untuk mencari validasi dengan menemukan pasangan lain yang tidak lebih sukses darinya. Hal ini juga berpotensi melecehkan perempuan.

        Maskulinitas toksik dalam dunia kepenggemaran bagi perempuan Membahas tentang hubungan maskulinitas toksik dan perempuan memang tak ada habisnya. Dalam kehidupan sehari-hari, akan sangat mudah untuk menemukan praktik maskulinitas toksik yang merugikan perempuan, salah satunya dalam isu kepenggemaran. Kegiatan mengidolakan seseorang atau sebuah grup bagi perempuan kerap kali mendapat cibiran. Sungguh lucu masih banyak laki-laki yang sinis pada perempuan karena menghabiskan uangnya untuk membahagiakan diri sendiri. Mereka tidak paham, bahwa kegiatan membeli barang yang berkaitan dengan idolanya adalah salah satu cara penggemar untuk menghargai karya sang idola secara legal. Membahas hal ini lebih jauh, rasanya masyarakat memiliki standar ganda soal kegemaran perempuan. Penggemar perempuan terutama penggemar K-Pop, lebih rentan dihakimi dan dicemooh. Sering kali kesenangan perempuan ini diikuti oleh tuntutan agar bisa bermanfaat dan menyenangkan banyak orang. Contohnya laki-laki sering mempertanyakan manfaat memuja idola, bahkan dikaitkan dengan apa untungnya bagi negara. Padahal jika ditelusuri lagi, memangnya kesenangan laki-laki dalam mengagungkan maskulinitas dengan olahraga memberikan sumbangsih apa untuk negara? Sudah sepatutnya kritik-kritik yang dilontarkan kepada penggemar perempuan seperti ini harus seimbang. Apakah mengidolakan tokoh-tokoh idola dari negara lain lantas membuat nasionalisme para penggemar perempuan ini sebagai warga negara Indonesia terkikis? Hal lainnya yang perlu dibahas adalah kerap kali laki-laki menganggap perempuan punya selera rendahan. Padahal kita tidak butuh jadi laki-laki untuk dianggap memiliki selera bagus dan tahu segala hal. Seharusnya para lelaki ini bisa belajar untuk tak menghakimi kesenangan perempuan.

        Semua orang, tanpa terbatas gender, berhak merasa percaya diri karena memiliki kulit yang sehat dan memakai riasan Nyatanya maskulinitas toksik ini tak hanya berdampak buruk bagi perempuan saja, namun juga bagi laki-laki. Mereka selalu dituntut untuk menjadi pihak yang lebih daripada perempuan, seperti lebih mapan, lebih sukses, lebih mampu secara finansial, lebih kuat dan tahan banting. Mirisnya lagi laki-laki yang tak bisa memenuhi standar itu kerap kali dipermalukan. Masih kerap kali ditemukan adanya anggapan bahwa laki-laki yang melakukan perawatan berarti tidak memenuhi standar sebagai laki-laki dan diejek sebagai laki-laki kemayu. Padahal perkara gender tidak bisa menghalangi seseorang melakukan perawatan kulit. Tak hanya itu, penggunaan riasan bagi laki-laki masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat asing. Pasalnya, masih banyak yang menilai bahwa riasan wajah atau segala macam produk kecantikan hanya dimaksudkan untuk perempuan. Laki-laki tidak diperbolehkan mengadopsi sesuatu yang keperempuanan. Karenanya, sering kali laki-laki yang memakai makeup dicemooh sekaligus dipertanyakan maskulinitas dan seksualitasnya. Padahal sisi feminin dan maskulin pasti ada dalam diri setiap orang, namun masalah kadarnya saja yang berbeda. Pada akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa setiap manusia memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing yang tak bisa dipukul rata oleh standar masyarakat. Perbaikilah diri kita masing-masing, tingkatkan kualitas-kualitas diri. Tak perlu repot mengikuti standar maskulinitas masyarakat yang kolot, cukup menjadi versi terbaik dari dirimu.

        • Suka
        • Bagikan
          • Lapor
        • Memuat artikel lainnya...