Fenomena ini juga ada di Jepang dan sudah terjadi sejak tahun 1980-an.

Setahun yang lalu, sebuah fenomena tragis muncul di Korea Selatan. Di mana saat itu, ada banyak banget lansia yang ditemukan meninggal dunia karena mengalami hidup sebatang kara.

Melansir dari cnn.com, jumlah lansia yang meninggal dunia karena godoksa di akhir tahun 2022 mencapai 3.378 kasus. Tidak ada pasangan, anak, cucu, benar-benar sendirian.

Fenomena ini disebut dengan istilah godoksa atau dalam bahasa Jepang disebut dengan kodokushi alias the lonely death. Kalau di Jepang, fenomena kodokushi sudah dikenal sejak lama. Istilah ini bahkan dijelaskan untuk pertama kalinya pada tahun 1980-an.

Sebuah studi juga pernah dilakukan untuk meneliti hal ini. Penyebab dari kodokushi adalah masalah ekonomi yang semakin tinggi sekaligus tingkat populasi lansia yang juga meningkat.

Seperti yang kita tahu di Jepang tingkat kelahiran semakin menurun dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini menyebabkan depopulasi alias generasi baru sedikit dan generasi tua lebih banyak.

Istilah kodokushi juga dikenal dengan nama koritsushi atau kematian karena terisolasi serta dokkyoshi yang artinya kematian yang disebabkan karena hidup sendiri.

Menyedihkannya, para lansia yang mengalami godoksa/kodokushi/koritsushi/dokkyoshi, baru ditemukan setelah beberapa hari meninggal dunia. Biasanya, para lansia ini ditemukan oleh tetangganya karena hal-hal yang umum.

Misalnya sudah beberapa hari tidak terlihat, tapi pas rumahnya diketuk tidak ada jawaban dari dalam. Atau yang lebih miris, tetangga mencium bau-bau tidak sedap dari dalam rumah.

Sama halnya dengan Jepang, Korea Selatan juga mengalami depopulasi dalam beberapa tahun terakhir. Alasannya juga kurang lebih sama.

Karena himpitan ekonomi dan sulitnya mendapat pekerjaan yang stabil dengan bayaran tinggi, membuat anak-anak muda di sana enggak mau menikah.

Kalaupun menikah, banyak dari mereka yang memutuskan child free karena takut enggak bisa bertanggung jawab secara finansial untuk anak mereka.

Makanya enggak heran kalau menurut data yang diungkap oleh koreaherald.com, mayoritas rumah tangga di Korea Selatan, saat ini cuma ada satu anggota keluarganya.

Data ini dikeluarkan oleh Badan Statistik korea pada tahun 2021 lalu. Konon, keluarga tunggal atau rumah tangga yang anggotanya cuma satu orang, jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut data tersebut, pada tahun 2016 jumlahnya ada 5,36 juta. Sedangkan di tahun 2021 jumlahnya jadi 6,64 juta. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun jumlah keluarga tunggal di Korea Selatan naik sebanyak 1,28 juta.

(BACA JUGA: FUGG FACT: Pernikahan Anak di Bawah Umur Jadi Concertn Serous di Amerika Serikat)

Fenomena godoksa ini tentu menjadi concern yang luar biasa buat Pemerintah Korea Selatan. Mereka mulai sadar bahwa depopulasi ini akan sangat berbahaya buat perkembangan negara mereka di masa depan.

Karena itu mereka mulai melakukan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan ini. Seperti baru-baru ini Pemerintah Korea Selatan menggelar acara perjodohan massal di daerah Seongnam.

Acara ini diikuti oleh 100 laki-laki dan 100 perempuan single. Rata-rata usia para peserta adalah 20-an sampai 30-an. Para peserta ini ditempatkan duduk bersebelahan, kemudian pihak penyelenggara membuka acara dengan bermain games.

Permainan ini dibuat di awal untuk mencairkan suasana agar para peserta bisa lebih santai saat berbincang satu sama lain.

Upaya Pemerintah Korea Selatan betul-betul patut diacungi jempol. Karena mereka enggak cuma menggelar acara perjodohan. Tapi setiap peserta juga mendapat fasilitas agar acara blind date berjalan lancar.

Mulai dari disediakan makanan dan minuman (termasuk alkohol), sampai jasa rias wajah dan tata rambut agar penampilan mereka mumpuni.

Acara yang baru saja diselenggarakan seminggu lalu ini, ternyata adalah rentetan dari acara perjodohan yang sudah terjadi sejak awal tahun ini.

Melansir dari ndtv.com, konon sekitar 198 orang telah meninggalkan acara ini karena sudah menjadi pasangan. Saat bertemu di acara mereka bahkan bersedia untuk bertukar kontak.

Keberhasilan Seongnam ternyata membuat wilayah lain ingin mencoba melakukan hal yang sama. Salah satunya adalah Seoul.

Sayangnya, rencana ini dikritik karena dianggap membuang-buang biaya pajak. Karena menurut mereka, permasalahan kenapa depopulasi terjadi bukan karena sulit mencari jodoh.

Tapi karena tingginya biaya hidup. Jadi kalau pemerintah mau masyarakatnya menikah dan punya anak, mereka harus menurunkan harga-harga hal sekunder seperti pendidikan dan perumahan.

Pendapat ini didukung penuh oleh seorang profesor yang mengajar di Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Wanita, Seoul, yang bernama Jung Jae Hoon.

Menurutnya, rencana atau keputusan pemerintah soal menggelar acara perjodohan massal dianggap tidak masuk akal.

Karena ketika seseorang menikah dan punya anak, maka ia harus punya pengeluaran lebih untuk biaya selama hamil, bersalin, sampai mengasuh anak.

“Sedangkan anak-anak muda zaman sekarang buat bertahan hidup saja sulit. Belum lagi banyak dari mereka harus mendukung finansial keluarganya. Membiayai orangtuanya atau adiknya yang mungkin masih sekolah.

Tradisi semacam ini sudah membuat hidup mereka sulit dan mungkin tidak bahagia. Bayangkan kalau mereka menikah dan punya anak.

Ada beban tambahan yang harus mereka keluarkan. Baru membayangkannya saja, sepertinya itu tidak mungkin bisa mereka lakukan,” katanya.

Jae Hoon juga menambahkan. Konsep perjodohan ini bisa berhasil karena terjadinya di Seongnam. Pola pikir warga daerah sangat berbeda dengan warga yang tinggal di kota besar, apalagi ibukota seperti Seoul.

Di mana perputaran ekonomi dan persaingan berlangsung dengan sangat ketat. Sehingga daripada menggelar acara perjodohan, Jae Hoon mengatakan sebaiknya pemerintah menggelar evaluasi serius soal peluang kerja dan biaya hidup yang harus ditangggung setiap warga.

(Foto: cnn.com)

Punya Banyak Gender, Kenapa Thailand Enggak Ikutan Tren Woke Culture?